Penyakit Pamer Kekayaan

Penyakit Pamer Kekayaan

Posted By: Admin, 2022-03-08


  Share:


Saat ini media sosial (medsos) menjadi sarana ‘pamer’ atas pencapaian seseorang. Adapun banyak orang yang terlihat kaya di medsos atau pasti sering menemukan orang-orang yang mengunggah tentang pencapaian dan/atau opini (prinsip) hidupnya pribadi. Kesan yang terlihat akhirnya orang tersebut seperti memamerkan apa yang dia punya meskipun sebenarnya tidak mereka miliki. Perilaku pamer di media sosial tersebut saat ini dikenal juga dengan istilah “flexing”.

Fenomena flexing yang semakin marak dengan konten pamer kekayaan menjadi salah satu konten yang cukup populer dan banyak diunggah di dunia maya. Ironisnya lagi, dengan teknologi pengedit foto dan video yang makin canggih, seseorang yang dalam kesehariannya mungkin biasa saja bisa menampilkan foto bak sultan yang keren dan kaya raya. Menaikkan derajat sosial alias pansos (panjat sosial) menjadi salah satu alasannya.

Mengunggah sebuah konten di akun pribadi memang merupakan hak setiap orang. Namun, hal itu tentu saja membuat para pengguna medsos lain memiliki pandangan yang berbeda-beda. Flexing tidak hanya digunakan untuk kebutuhan pribadi, namun juga bisa digunakan dalam marketing yang bertujuan membangun kepercayaan kepada customer. 

Sebagai contoh di Indonesia pernah terjadi kasus penipuan yang dilakukan sebuah travel perjalanan umrah, mereka memiliki rumah dan mobil mewah dan mempostingnya di media sosial kerap melakukan perjalanan ke luar negeri bahkan  sering melakukan umroh ke tanah suci. Ternyata apa yang mereka pamerkan hanya sebagai kedok marketing penipuan perjalanan ibadah umroh dengan embel-embel murah yang mereka gadang-gadangkan. Kemudian mereka berurusan dengan hukum hingga dinyatakan bersalah menyalahgunakan uang calon jemaah umroh.

Guru Besar Universitas Indonesia, Prof Rhenald Kasali, mengungkapkan, meski banyak yang menggunakan flexing untuk sekadar cari perhatian, ada pula yang memang bertujuan untuk market signalling.

“Karena memang di keilmuan ini flexing ini ada teorinya yang disebut sebagai market signalling atau strategi mengirim sinyal kepada pasar. Teori itu sudah ada sejak tahun 60-an. Namun, sejak adanya media sosial cara itu menjadi semakin populer karena memang banyak yang berhasil menarik perhatian pasar dengan cepat,”.

Dampak buruk flexing

Kebiasaan pamer kekayaan dan harta yang dimiliki kepada publik bisa meningkatkan sikap hidup konsumtif. Lantaran, mereka akan selalu merasa dituntut untuk unjuk diri dengan kemewahan dan kekayaan. Hal ini akan mendorong mereka meningkatkan kegiatan konsumsi yang sebenarnya tidak terlalu perlu.

Sebuah penelitian psikologi menunjukkan, mereka yang terjebak pada kondisi terobsesi untuk pamer kekayaan akan selalu terdorong untuk melakukan hal yang sama. Melarat tidak masalah, yang penting terlihat kaya dan digolongkan kaum sosialita. Banyak masyarakat yang menganggapnya sudah menjadi hal yang lazim. Bahkan dianggap hanya sekedar lelucon di media sosial, tanpa memandang bahaya besar pengaruhnya pada kepribadian seseorang.

Disamping itu minimnya rasa empati kepada sesama di tengah kondisi ekonomi, sosial, dan kesehatan masyarakat di berbagai tempat yang belum stabil akibat wabah pandemi, rasanya tidak elok jika ada orang-orang yang bersuka ria pamer harta. Sementara, di kanan dan kirinya banyak orang merasa kesusahan.

Sebelum melakukan flexing, perlu juga dipikirkan betapa banyak orang di luar sana yang tidak seberuntung mereka. Tentu saja atas nama kemanusiaan, ada rasa empati dan simpati terhadap kesulitan dan kesusahan orang lain. Maka, perilaku flexing di media sosial secara berlebihan, bisa dipandang kurang etis.


Sumber foto dari freepik.com