Pernahkah kamu mendengar fenomena bubble ekonomi atau gelembung ekonomi? Sebenarnya apa sih arti istilah ini? Nah, yang dimaksud dengan bubble ekonomi atau gelembung ekonomi adalah sebuah fenomena ekonomi yang muncul dan ditandai dengan ekspansi yang cepat diikuti oleh kontraksi meningkatnya nilai/harga suatu produk/aset yang tidak wajar dan tidak dapat diterima oleh akal sehat.
Dengan kata lain, harga yang melambung tinggi tersebut, pada suatu titik, akan menjadi sangat rendah. Fenomena bubble economy lazim terjadi pada efek, pasar saham, dan bisnis Properti.
Bubble economy memiliki dampak buruk terhadap ekonomi khususnya secara makro.
Namun fenomena ini biasanya terjadi dalam waktu yang relatif cepat. dalam waktu singkat juga akan mengalami kejatuhan nilai/harga secara drastis. situasi ini akan menyebabkan keruntuhan ekonomi yang sangat parah. Ibarat gelembung yang ditiup terlalu cepat agar segera membesar, lama-lama akan pecah juga
John Keynes pernah menyebutkan fenomena ini dalam bukunya yang berjudul “The General Theory of Employment, Interest, and Money”. Menurut Keynes, manusia punya kecenderungan untuk mengonsumsi segala sesuatu secara emosional. Salah satunya adalah dengan membeli sesuatu yang sedang tren, lalu berharap harga barang tersebut naik cukup banyak dan lama. Padahal, kebiasaan ini justru juga berpotensi memecahkan gelembung ekonomi atau economic bubble.
Pada rentang tahun 1636-1637, negara belanda dihebohkan dengan salah satu bunga yang begitu populer, yaitu bunga tulip. Pada saat itu, keunikan dan keindahan bunga tulip, membuat permintaan terhadap bunga tersebut melonjak.
Gelembung membesar pada awal tahun 1637. Pada saat itu, banyaknya permintaan dan minimnya stok bunga tulip akhirnya membuat harga bunga tulip melejit naik hingga 200 kali lipat dari harga normal.
Fenomena ini tidak berlangsung lama. Gelembung pun pecah pada pertengahan tahun 1637. Pada saat itu pelaku-pelaku pasar bunga tulip satu persatu mulai menjual bunga tulipnya. Hal ini menyebabkan bunga tulip langsung anjlok. Bahkan dikatakan harganya lebih rendah dari harga sebiji bawang merah.
Perkembangan internet pada tahun 1990-an di amerika serikat memunculkan tren pasar yang begitu melonjak dari segi perusahaan teknologi. Banyak sekelompok orang berlomba-lomba membuat perusahaan berbasis teknologi yang memanfaatkan internet.
Keberhasilan perusahaan-perusahaan ini membuat saham-saham mereka naik drastis hingga berkali-kali lipat. Hal ini juga diiringi ekspektasi pelaku-pelaku pasar yang bersikap optimis bahwa akan ada era ekonomi baru dari kemajuan teknologi ini.
Namun, lahirnya perusahaan-perusahaan tersebut hanya terkesan “mengikuti trend” saja tanpa diiringi oleh pengelolaan finansial yang baik. Hingga pada akhirnya, puncak gelembung pecah ketika Bank Sentral Amerika Serikat menaikkan suku bunga acuan.
Pada kondisi ini, banyak pemberitaan perusahaan teknologi yang mengalami kerugian karena tidak dapat mengelola keuangan dengan baik. Akibatnya, terjadi penjualan saham secara besar-besaran dan mengakibatkan banyak perusahaan yang mengalami kerugian dan runtuh satu persatu.
Di Indonesia juga pernah lho sob, terjadi fenomena gelembung ekonomi. Diantaranya fenomena ikan louhan (2002-2005), tanaman anthurium (2006), batu akik (2014-2016), hingga tanaman janda bolong yang belakangan kemarin sempet ramai diperbincangkan.
Begitulah, sob, fenomena gelembung ekonomi, lonjakan harga berlangsung dengan cepat. Saat gelembung pecah, jatuhlah sudah harga jualnya.
Gelembung ekonomi merupakan efek yang tidak ingin dialami oleh siapa pun. Terutama saat harus menderita kerugian ya, sob. Untuk menghindarinya, kita perlu melakukan investasi cerdas, sekaligus aman. Juga memilih produk investasi yang sesuai dengan profil kita.
Selain itu, penting juga menghindari membeli sesuatu karena tren, dan hanya mengandalkan spekulasi pasar. Umumnya, pembeli yang hanya mengikuti tren tanpa memikirkan efek jangka panjang adalah pembeli emosional. Apalagi jika bukan ahli ekonomi, hindari mengandalkan spekulasi pasar, sob
Photo by Rousseau Karine on Unsplash